SEPENGGAL KISAH FILM “DI BALIK FREKUENSI”

UMS-Peserta diskusi sontak memberi tepuk tangan ketika pemutaran film “Di Balik Frekuensi” berakhir dan kian meriah saat seorang perempuan berbaju putih bercelana coklat menuju panggung. Ekspresi wajahnya tampak lebih riang menatap antusiasme ratusan peserta diskusi dibandingkan ketika ia dikisahkan di film ini. Ia adalah Luviana mantan wartawan Metro TV yang di PHK karena memperjuangkan kesejahteraan rekan kerjanya dan menolak politisasi di stasiun televisi berita pertama di Indonesia tersebut.

Gelombang frekuensi merupakan sumber daya alam milik negara yang jumlahnya terbatas. Frekuensi merupakan milik publik karena dibiayai oleh pajak, dan sifatnya terbatas. Salah satunya adalah frekuensi yang digunakan oleh media televisi. Namun sayangnya disamping terbatasnya frekuensi di industri media justru diperalat untuk kepentingan kelompok politik tertentu.

Berlatarbelakang kisah Luviana, film “Di Balik Frekuensi” mencoba menguak eksploitasi gelombang radio dan politisasi media televisi di Indonesia. Kisah Hari Suwandi, korban lumpur Lapindo, yang melakukan aksi jalan kaki dari Sidoarjo ke Jakarta juga menjadi pengantar bagaimana Metro TV danTV One membingkai berita demi kepentingan pemiliknya. Bahkan saat bersedia diwawancarai TV One tiba-tiba Heri Suwandi menangis dan meminta maaf pada Aburizal Bakrie. Hal tersebut mengejutkan dimana sebelumnya Heri Suwandi telah rela menempuh perjalanan panjang untuk memperjuangkan korban lumpur Lapindo dan selalu menolak diwawancari wartawan TV One. Pada akhir cerita dikisahkan setelah kejadian tersebut Heri Suwandi menghilang.

Keberpihakan media televisi sangat dirasakan masyarakat Indonesia. Hal tersebut terjadi pra pesta demokrasi dari tahun 2012 hingga saat Pemilu 2014 lalu. “Umumnya pelanggaran etika, 2000 aduan ke KPI, saat surat peringatan masuk runag redaksi hanya dibaca dan dibuang sampah, KPI dan Kominfo sebagai legulator seperti tumpang tindih,” ujarnya ketika menjawab pertanyaan dari peserta diskusi.

Film bergenre dokumenter tersebut merupakan garapan Ucu dan Ursula rekan Luviana pada tahun 2012 silam. Saat ditemui reporter pabelan-online.com sebelum naik panggung diskusi, Luviana mengungkapkan kegembiraannya film yang mengisahkan dirinya dapat ditampilkan di Solo. “Sangat seneng, ini ketiga kalinya ditampilkan di Solo, dan mungkin pemutaran ke seribu kalinya,” ujarnya.

Acara bedah film dan diskusi ini diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Komunikasi (Himakom) UMS. Ketua Himakom, Muhammad Alan, mengungkapkan bedah film dan diskusi dipilih Himakom karena masih anti mainstream oleh himpunan mahasiswa komunikasi di universitas lainnya. Film “Di Balik Frekuensi” dipilih karena masih banyak mahasiswa yang masih sempit perspektif tentang media khususnya televisi. “Kisah film ini mampu menyadarkan kita, bagaimana sebenarnya bekerja di media, jurnalis itu pengabdi masyarakat bukan mesin pemilik media,” tegasnya.

Acara tersebut juga menghadirkan aktifis peduli media Jogja Budhi Hermanto, dan Dosen Komunikasi UMS Fajar Junaedi sebagai moderator. Luviana menutup acara pada malam tersebut dengan nasehat kepada seluruh peserta diskusi. Luviana mengingatkan bahwa orang pintar harus masuk media dan membentuk gerakan besar untuk memperbaiki media di Indonesia. “Jangan larut, harus kritis,” tutupnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *