Isu ketimpangan dan ketidakadilan gender yang terjadi tidak hanya pada perempuan namun juga pada laki-laki dan kelompok minoritas seperti disability mendorong HIMAKOM (Himpunan Mahasiswa Komunikasi) UMS dan PUKAPS (Pusat Kajian Perempuan Solo) menginisiasi pembahasan gender dalam kehadirannya di wajah media. Isu gender ini menjadi isu yang agaknya baru di mata mahasiswa ilmu komunikasi UMS, dimana exposure tentang isu gender jarang didapatkan oleh masyarakat Solo dan lebih dapat diakses oleh masyarakat yang ada diperkotaan besar seperti Jakarta, baik secara akademis maupun non-akademis.
Hal inilah yang menjadikan HIMAKOM UMS bersama PUKAPS. SOLO – Minggu, 1 November 2020, pukul 19.00 – 21.30 WIB. sebagai komunitas perempuan di Solo berkolaborasi dalam menyajikan edukasi-edukasi tentang isu gender dan kaitannya dengan ilmu komunikasi. “Tujuannya, selain agar mahasiswa di UMS dapat exposure lebih soal isu gender dan media, temen-temen juga bisa menjadikan webinar kali ini sebagai media belajar untuk menulis penelitian tentang representasi gender di media sebagai penelitian yang memiliki dampak untuk masyarakat dan dapat memberikan perubahan yang berarti, sekalipun kecil” pungkas Luxy, mahasiswa ilmu komunikasi UMS, CEO dan founder PUKAPS.
Di tengah berbagai keterbatasan di masa pandemi ini, peserta yang hadir tetap menunjukkan antusiasmenya terhadap topik yang dibahas. 150 peserta lebih hadir untuk mengikuti webinar yang diadakan melalui zoom meeting tersebut. HIMAKOM UMS dan PUKAPS mengundang pembicara yang tidak tanggung-tanggung, Askarina Sumiran Bintari, BSc., MSc., yang memaparkan materinya melalui video conferences dari Swedia. Askarina menempuh pendidikan S1 di Universitas Indonesia in Communication Science dan S2 di LSE (London School of Economics, UK) in Gender, Media and Culture sekaligus sebagai penerima Chevening Scholarship dari pemerintah Inggris.
Dengan kehadiran pembicara yang fokus dalam kajian gender dan media, diharapkan agar mahasiswa UMS dapat memperoleh insight secara langsung dan jelas tentang gambaran, masalah dan tantangan yang dihadapi dalam kajian gender dan media di Indonesia. Diskusi berjalan begitu intents, pertanyaan-pertanyaan tentang kekerasan berbasis gender online, pelecehan seksual online, konstruksi yang dibentuk media yang membuat label-label ketidakadilan gender pada laki-laki dan perempuan, hingga dampak domino konstruksi gender dalam media yang menciptakan ketimpangan kelas dan sosial menjadi pembahasan empuk dalam webinar malam itu.
Banyak tuntutan yang diciptakan oleh media, membentuk kebiasaan dan menjadi budaya, yang ternyata menciptakan ketimpangan gender. Seperti laki-laki dituntut menjadi kuat, tidak boleh menangis atau menunjukkan kesedihannya agar tidak terlihat lemah, dan kepada perempuan yang selalu dibentuk sebagai makhluk seksual, lemah, tak berlogika dan emosional. Hal tersebut menciptakan efek domino yang berkepanjangan, seperti jika perempuan memimpin, publik akan menolaknya hanya karena alasan bahwa perempuan adalah makhluk emosional, padahal hal tersebut hanya konstruksi masyarakat juga bentukan media, bagaimana media membentuk perempuan menjadi makhluk emosional.
Apakah perempuan bisa menjadi pemimpin? Apakah laki-laki boleh menangis? TENTU BOLEH, TENTU TIDAK MELANGGAR KODRAT, karna kodrat adalah suatu yang datang dari Tuhan dan tidak dapat dirubah atau dipertukarkan, seperti hal-hal biologis kita (SEX). Sedangkan memimpin, menangis, logis, emosianal, kuat atau lemah, adalah suatu yang bisa dibentuk oleh orang tua kita, keluarga kita, lingkungan, pendidikan, budaya, masyarakat kita hingga media yang kita lihat. Dimana hal tersebut adalah konstruksi (bentukan) sosial, yang secara akademis disebut sebagai Gender.
Terakhir, HIMAKOM UMS dan PUKAPS mempersembahkan kegiatan ini sebagai medium untuk mahasiswa belajar membongkar bagaimana laki-laki dan perempuan dibentuk menjadi apa yang media harapkan. Selain itu, pembahasan ini juga menjadi pintu awal bagi public untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya representasi gender yang setara di media untuk mewujudkan media yang lebih berkeadilan dan mencerdaskan, melakukan penelitian tentang representasi gender yang berdampak, serta menciptakan masyarakat yang juga sensitive gender. Semoga pembahasan gender dalam perspektif ilmu komunikasi di UMS dapat menjadi lebih beragam dan berdampak. (ed.)